swasembada
pangan
Pengertian Swambada pangan
Swasembada pangan yang berarti kita mampu utk mengadakan sendiri kebutuhan
pangan masyarakat dengan melakukan realisasi & konsistensi kebijakan tsb,
antara lain dengan melakukan:
1. Pembuatan UU & PP
yg berpihak pada petani & lahan pertanian.
2. Pengadaan infra
struktur tanaman pangan seperti: pengadaan daerah irigasi & jaringan
irigasi, pencetakan lahan tanaman pangan khususnya padi, jagung, gandum,
kedelai dll serta akses jalan ekonomi menuju lahan tsb.
3. Penyuluhan &
pengembangan terus menerus utk meningkatkan produksi, baik pengembangan bibit,
obat2an, teknologi maupun sdm petani.
4. Melakukan
Diversifikasi pangan, agar masyarakat tidak dipaksakan utk bertumpu pada satu
makanan pokok saja (dlm hal ini padi/nasi), pilihan diversifikasi di indonesia
yg paling mungkin adalah sagu, gandum dan jagung (khususnya indonesia timur).
Jadi diversifikasi adalah bagian dr program swasembada pangan yg memiliki
arti pengembangan pilihan/ alternatif lain makanan pokok selain padi/nasi (sebab
di indonesia makanan pokok adalah padi/nasi). Salah satu caranya adalah dengan
sosialisasi ragam menu non padi/nasi.
Kebijakan Pemerintah terhadap swambada pangan
Tampaknya, program swasembada pangan, khususnya beras, tidak akan pernah
terwujud selama jajaran pengambil kebijakan di pemerintahan lebih
mementingkan impor ketimbang memperluas lahan sawah dan membantu petani
meningkatkan produksi. Swasembada beras tinggal ilusi setelah pernah diraih
1984 dan 2004 silam.
indonesia sebenarnya memiliki sarana dan prasarana lengkap dan dapat
diandalkan untuk mendukung swasembada beras. Terlebih bila memperhitungkan
lahan pertanian padi yang masih potensial dan luas, di samping jumlah sumber
daya manusia (petani) banyak, produksi pupuk dan benih memadai, serta sistem
irigasi yang sudah terbentuk sejak lama. Namun pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah (pemda) serta seluruh pihak terkait malah terkesan memandang
sebelah mata sektor pertanian tanaman pangan. Fakta paling gamblang tentang
itu: lahan pesawahan – termasuk yang beririgasi teknis – terus menyusut secara
signifikan akibat tergusur aneka kepentingan nonpertanian, terutama permukiman
dan industri.
Maka jangan sesali kalau produksi beras nasional cenderung menurun. Bahkan
kalaupun berbagai faktor amat menunjang – seperti iklim, pengendalian hama,
juga penyediaan berbagai input – produksi beras nasional sulit sekali
ditingkatkan lagi. Produksi beras nasional boleh dikatakan sudah stagnan di
level 50-an juta ton per tahun. Padahal konsumsi nasional, sebagai konsekuensi
pertambahan penduduk, terus meningkat pasti dan begitu signifikan.
Di lain pihak, negara-negara seperti Thailand dan Vietnam terus berupaya
keras meningkatkan produksi beras secara intensif. Upaya mereka sungguh tak
mengenal lelah, termasuk mengembangkan dan menerapkan inovasi pertanian. Target
mereka bukan lagi sekadar mencapai swasembada, melainkan tampil menjadi negara
produsen beras terbesar di dunia.
Hambatan dalam pemprograman swasembada pangan
Swasembada pangan terkendala pada keterbatsan lahan, swasembada pangan
berkelanjutan pemerintah telah menetapkan peningkatan produksi. Untuk jagung 10
persen per tahun, kedelai 20 persen, daging sapi 7,93 persen, gula 17,56 persen
dan beras 3,2 persen per tahun.
Dalam Sidang Regional Dewan Ketahanan Pangan Tahun 2010, dia mengatakan,
mencapai target ini diperlukan peningkatan areal pertanaman. Dia mencontohkan,
pada swasembada gula dibutuhkan lahan tambahan 350.000 hektare (ha), kedelai
500.000 ha. “Tapi ada kendala. Hingga saat ini, pun belum ada kepastian soal
lahan,” katanya dalam kegiatan yang diikuti para Sekretaris Dewan Ketahanan
Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota se Indonesia.
Kondisi ini, menjadikan satu lahan pertanian terpaksa untuk menanam
berbagai komoditas tanaman pangan secara bergantian. Akibatnya, Indonesia
selalu menghadapi persoalan dilematis dalam upaya peningkatan produktivitas
tanaman.
Jika menggenjot produksi kedelai, produksi jagung akan turun. Sebab, lahan
diambil kedelai. Juga sebaliknya, karena kedua komoditas ini ditanam saling
menggantikan.
Sebenarnya Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah menjanjikan lahan 2 juta
ha dari total lahan terlantar 7,3 juta ha untuk pertanaman pangan. Namun hingga
saat ini belum ada kejelasan soal lahan itu.
Selain keterbatasan lahan, kendala lain yang dihadapi mencapai swasembada
pangan masih tinggi alih fungsi atau konversi lahan pertanian ke non pertanian.
Saat ini, konversi lahan pertanian mencapai 100.000 ha per tahun, sedang
kemampuan pemerintah menciptakan lahan baru maksimal 30.000 ha. Hingga setiap
tahun justru terjadi pengurangan luas lahan pertanian.
Sementara perubahan yang mengakibatkan cuaca tidak menentu dan keterbatasan
anggaran juga berdampak terhadap upaya swasembada produk strategis itu.
Program swasembada pangan pada masa susilo bambang
yudoyono
Pada masa nya SBY dianggap gagal dalam hal swasembada pangan dan hanya
dianggap keberhasilan yang semu,Pentingnya pencapaian swasembada beras, perlu
diketahui kedudukan khusus beras dalam menu, budaya, dan politik Indonesia.
Beras adalah bahan makanan pokok bagi orang Indonesia. Berbagai bahan makanan
lain pengganti beras pernah dianjurkan oleh pemerintah, namun rakyat tidak
menyukainya.
Ketika harga beras melonjak sampai pada titik di mana konsumsinya harus
dikurangi, penduduk menjadi kekurangan gizi dan kelaparan. Beras adalah pusat
dari semua hubungan pertalian sosial.
Radius Prawiro pada tahun 1998 menjabarkan beberapa langkah kunci yang pernah
diambil dalam perjalanan ke arah swasembada beras, diantaranya: 1. Bulog, Dewan
Logistik Pangan, dan Harga-harga Beras.
Di antara lembaga-lembaga tersebut, Buloglah yang paling berperan dalam
pencapaian swasembada beras. Bulog tidak terlibat langsung dalam bisnis
pertanian, melainkan hanya dalam urusan pengelolaan pasokan dan harga pada tingkat
ansional.
Selain itu, ada motivasi ekonomi-politik yang sebenarnya disembunyikan di
balik logika bisnis impor beras. Impor beras merupakan bentuk kebijakan
ekonomi-politik pertanian yang mengacu kepada kepentingan pasar bebas atau
mazhab neo-liberalisme.
Kebijakan impor beras adalah pemenuhan kesepakatan AoA (Agreement on
Agriculture) WTO yang disepakati oleh Presiden Soeharto tahun 1995 dan
dilanjutkan pemerintahan penerusnya sampai sekarang. Butir-butir kesepakatan
AoA terdiri dari :
1. Kesepakatan market
access (akses pasar) komoditi pertanian domestik. Pasar pertanian domestik di
Indonesia harus dibuka seluas-luasnya bagi proses masuknya komoditi pertanian
luar negeri, baik beras, gula, terigu, dan lain sebagainya.
2. Penghapusan subsidi
dan proteksi negara atas bidang pertanian. Negara tidak boleh melakukan subsidi
bidang pertanian, baik subsidi pupuk atau saprodi lainnya serta pemenuhan
kredit lunak bagi sektor pertanian.
3. Penghapusan peran STE
(State Trading Enterprises) Bulog, sehingga Bulog tidak lagi berhak melakukan
monopoli dalam bidang ekspor-impor produk pangan, kecuali beras.
Dampak pemenuhan kesepakatan AoA WTO sangat menyedihkan bagi kondisi
pertanian lndonesia semenjak 1995 hingga sekarang ini. Sektor pertanian di
Indonesia mengalami keterpurukan dan kebangkrutan. Akibat memenuhi kesepakatan
AoA WTO, Indonesia pernah menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia pada
tahun 1998 sebesar 4,5 juta ton setahun.
Beberapa kalangan aktivis gerakan petani di lndonesia menyebutkan
merosotnya produksi beras nasional semenjak tahun 1985-2009 dikarenakan problem
warisan struktural pertanian masih melekat dalam kehidupan petani. Di
antaranya, semakin
banyak petani yang berlahan sempit (menjamumya petani gurem) dan tidak
adanya kemajuan teknologi pertanian yang berorientasi ekologis.
Presiden SBY adalah seorang doktor pertanian yang pernah menulis tesis
tentang revitalisasi pertanian dengan beberapa kesimpulan, di antaranya:
·
Untuk membangun kembali pertanian maka intervensi asing semacam IMF dan
World Bank harus dinetralisasikan dari bidang pertanian.
·
Pemerintah perlu mengorientasikan kebijakan fiskalnya untuk mendukung
sektor pertanian.
·
Pemerintah perlu memfasilitasi pengembangan pertanian yang berorientasi
kepentingan petani dengan penerapan penuh sistem pertanian berkelanjutan. Namun
sayangnya keyakinan atau ide cerdas SBY dalam disertasinya berbalik dengan
realitas kebijakan ekonomi-politik pertanian yang direncanakan dan
diimplementasikan.
Kebijakan pemerintahan SBY saat ini tidak mendukung berkembangnya sektor
pertanian dalam negeri. Antara lain, Indonesia telah mengarah ke negara
industri, padahal kemampuanya masih di bidang agraris. Misalnya, kedudukan
Pulau Jawa sebagai sentra penghasil padi semakin kehilangan potensi karena
industrialisasi dan pembangunan perumahan. Konversi tata guna lahan ini
merupakan salah satu pemicu merosotnya pertanian Indonesia yang menjadi sumber
penghidupan 49 persen warga negara.
Ada sejumlah faktor yang selama ini menjadi pemicu utama terpuruknya sektor
pertanian, di antaranya :
1. Dari segi sarana dan
prasarana, dana pemeliharaan infrastruktur pertanian, tidak ada pembangunan
irigasi baru, dan pencetakan lahan baru tidak berlanjut.
2. Dalam hal bebasnya
konversi lahan pertanian, pihak pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten
tidak disiplin menjalankan pemerintahan dengan mengizinkan pengubahan fungsi
pertanian yang strategis bagi ketahanan negara.
3. Dari sisi kebijakan
dan politik, penerapan otonomi daerah membuat sektor tanaman pangan terabaikan.
Para elite politik membuat kebijakan demi partai, bukan untuk kebijakan pangan
rakyat. Keadaan semakin buruk dengan tidak adanya keamanan dan stabilitas yang
seharusnya dijalankan aparat penegak hukum.
PENDAPAT :
Jadi , indonesia sebenarnya memiliki sarana dan prasarana lengkap dan dapat
diandalkan untuk mendukung swasembada pangan (beras). Namun pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah (pemda) serta seluruh pihak terkait malah terkesan
memandang sebelah mata sektor pertanian tanaman pangan. Fakta paling gamblang
tentang itu: lahan pesawahan – termasuk yang beririgasi teknis – terus menyusut
secara signifikan akibat tergusur aneka kepentingan nonpertanian, terutama
permukiman dan industri. Dan pada masa nya SBY dianggap gagal dalam hal
swasembada pangan dan hanya dianggap keberhasilan yang semu , pentingnya
pencapaian swasembada beras, perlu diketahui kedudukan khusus beras dalam menu
budaya, dan politik Indonesia.
Sumber :